DEMOKRASI
DIGITAL
TEORI
sosial dan politik yang umum dipelajari hari ini sebagian besar merupakan
warisan pemikiran dari revolusi industri yang berlangsung sekitar dua abad
lalu. Jarang disadari bahwa gelombang revolusi berikutnya yang lebih dahsyat
sedang berlangsung saat ini. Revolusi ini diyakini akan mengubah serta
melahirkan teori dan praktik sosial baru yang mungkin belum pernah
terprediksikan sebelumnya. Revolusi yang memiliki dampak sangat luas dan dalam
pada peradaban manusia. Gelombang perubahan inilah yang disebut dengan revolusi
digital. Ditandai dengan kehadiran internet yang masif dan perlahan
menggantikan berbagai perangkat teknologi jadul (jaman dulu). Hampir semua
teknologi analog tinggal menjadi kenangan. Radio, televisi, koran, dan media
konvensional lain pun sudah di ambang sakratulmaut digulung Google dan Youtube.
Gilardi (2016), dalam penelitian terbarunya tentang digital democracy,
menjelaskan dengan gamblang tentang bagaimana teknologi digital ini juga
memengaruhi proses demokrasi itu sendiri. Mobilisasi politik, strategi
kampanye, polarisasi opini publik, hingga perangkat dan saluran tata kelola
pemerintahan pun mulai berubah. Tidak hanya di Barat, tetapi juga di belahan
dunia mana pun di saat teknologi digital mulai mendominasi. Tidak hanya pada
praktik politik dalam demokrasi kontemporer, revolusi teknologi digital ini
juga secara langsung telah memengaruhi bagaimana ilmu-ilmu sosial direproduksi
dan disebarluaskan. Big data, sains kompleksitas, crowd sourcing, mesin
pembelajaran baru, hingga kurikulum ilmu sosial di berbagai perguruan tinggi
rujukan dunia pun turut beradaptasi dengan revolusi digital ini. Demokrasi
digital ialah era baru dalam sejarah manusia sekaligus masa depan dunia itu
sendiri. Demokrasi rasa kota Kerasnya polarisasi politik dalam demokrasi
digital ini dapat kita rasakan dalam Pemilihan Presiden RI 2014 lalu. Demikian
juga dalam pilkada DKI yang sedang berlangsung saat ini. Kasus dugaan penistaan
Alquran, misalnya, bisa menjadi contoh bagaimana elite-elite politik yang
berkepentingan memobilisasi massa melalui kampanye di jejaring media sosial.
Mereka mampu menggerakkan solidaritas berbasis identitas keagamaan itu lintas
daerah bahkan lintas pulau untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka.
MEDIA
TRADISIONAL
A.
Pengertian Media Tradisional
Dongeng
adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada
masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena
merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng
merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk
menanamkan nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di
berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam
berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di
daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang
(kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul
Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa
Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh media tradisional di kedua
daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah instrumen tradisional
seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat
digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang
berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan
sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan dengan
irama-irama tertentu.
Media
tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih
sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan
ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional
sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau
diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan
oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan,
mengajar, dan mendidik.
Sejalan
dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat,
tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu
semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan-
yang diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
B. Ragam
Media Tradisional
Nurudin
(2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan
dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari
cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering
disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara
lain:
a. Cerita
prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b.
Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi
rakyat;
d. Nyayian
rakyat;
e. Teater
rakyat;
f. Gerak
isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat
pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat
bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau
dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek,
ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami
transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi
dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi
(transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional
wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.
C. Fungsi
Media Tradisional
William
Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai
media tradisional adalah sebagai berikut:
Sebagai
sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat
jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang
termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah
cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang
angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun
diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil
menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang
itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai
penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat
(bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai
kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk
halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat
pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat,
terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk
halus) di Pantai Parang Kusumo.
Sebagai
alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita
ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan
sabar akan mendapat imbalan yang layak.
Sebagai
alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian
sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang
yang banyak bicara namun sedikit kerja.
Sifat
kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan
rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini
biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan.
Dalam penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah
setempat (Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath
(1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak,
kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi
baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media
ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar
bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera.
Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa
pesan-pesan modern.
Eapen
(dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak
perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan
menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing.
Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan
orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari
pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat
menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang
bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat
umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya
yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi,
fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi
dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa
media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah
dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar
jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam
proses komunikasi.
D.
Keberadaan Media Tradisional
Pada masa
silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang
penting. Kinipenampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng
dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini
antara lain karena:
1. Diperkenalkannya
media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan
televisi.
2. Penggunaan
bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan
dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin
berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada
pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya
selera generasi muda.
Di
Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan
sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya
mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat
penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa
persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang,
terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern
seperti kaset video.
Pertunjukkan
rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang,
terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak
lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan
pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi
baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan
pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya
media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti
komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976)
melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian
komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam
laporan-laporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya
minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan
yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang
populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola
komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi
lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai
akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.
Untuk
mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia
ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan
televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake,
dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi
itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya,
akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi
kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media
besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan
dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam
pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber
daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang
kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi
ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan
jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju.
Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya
sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang
tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian
para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah
menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara
dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap
mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di
Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai
ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional
secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja
bersama masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan
sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976)
Kemudian
Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh
perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi
pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East
West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi
komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami
kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.
E. Peran
Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media
tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki
posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi
yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks
kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit
menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal,
material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan
tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang
ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak
memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi
yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian
dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan
pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan
fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk
menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga
menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah
sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun
demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan
bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi
maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak
selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah
merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake,
1977). Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan
tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar
media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional
ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut
kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan
pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun
banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional
bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin
dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada
pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat
monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita.
Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa,
Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai
media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode
cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang
biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali
yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih
tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang
sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan
tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya
yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan
mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara
memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan
untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode
cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat
disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat
dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya,
untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi
kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi
kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang
suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh
kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden
Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan
para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.
Pelaksanaan
demokrasi di media sosial dalam pemilu 2019
Pemilihan
presiden Indonesia 2019 berada dalam paradoks janggal. Di satu sisi, platform
kebijakan kedua kandidat presiden nyaris tak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Alih-alih mengkritik Presiden Joko Widodo, kampanye kandidat
oposisi Prabowo Subianto relatif pasif dan malu-malu. Sebagian besar orang
Indonesia menganggap debat pilpres di televisi membosankan. Wartawan lokal dan
asing pun mengklaim tak ada hal menarik selama kampanye berlangsung. Kandidat
presiden dan wakil presiden tidak menawarkan perdebatan yang jelas terkait arah
masa depan negara ini. Seorang dosen mengatakan wacana politik saat ini
"buruk untuk Indonesia dan tidak dapat dikendalikan", ketika
mahasiswa "tidak boleh sepakat untuk tidak bersepakat”. Dalam sesi kuliah
saya, seorang mahasiswa meminta saran tentang bagaimana Indonesia bisa “damai”
di tengah situasi politik yang keruh. Namun, apakah yang sebenarnya mendorong
perbedaan kontras antara kampanye politik yang relatif menjemukan dan perasaan
banyak orang yang resah terkait itu? Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan
ini adalah mengamati bagaimana kehidupan online mengubah realitas offline.
Barangkali Indonesia tidak mengalami kampanye politik yang memecah belah, atau
polarisasi, melainkan diskursus media sosial membuat masyarakat Indonesia
merasakan potensi polarisasi lebih besar dibandingkan yang sebenarnya dan
politikus terus-terusan mengobarkan persepsi itu yang bisa saja menyebabkan
terpecah belahnya perdamaian. Bercermin pada beberapa kasus luar biasa, para
pakar di Indonesia telah memperingatkan bahwa media sosial mudah memicu konflik
karena tingkat literasi yang rendah. Menurut akademisi Indonesia Adi Prayitno,
"Banyak orang Indonesia masih irasional dan cenderung emosional ketika
berhadapan dengan pandangan politik yang berbeda," yang lantas membuat
mereka berpikir politik adalah "jalan menuju surga atau pertarungan antara
yang baik dan yang jahat”.
Komentar
Posting Komentar