Film adalah karya kolektif, karena gabungan dari departemen yang saling mendukung antara satu dengan departemen lainnya. Semua bagian itu harus bisa bekerjasama demi terciptanya sebuah film. Tentunya membuat film perlu ada tahapannya, berikut 5 tahap produksi film yang bisa kamu lakukan:
1. Development
Pada tahap ini yang dilakukan adalah pengembangan ide,
menentukan jenis cerita, genre dan format, penulisan skenario. Ide bisa datang
darimana saja misalnya; dari novel, kisah nyata, dan lain-lain. Ada istilah triangle
system yaitu produser, sutradara dan penulis naskah.
Setelah mendapatkan ide mereka akan bekerjasama untuk
membuat premis, sinopsis, treatment kemudian skenario. Selanjutnya
produser dan sutradara menyiapkan treatment untuk menyampaikannya
kepada investor. Jika berhasil, film ini akan menerima dana untuk proses
produksi.
2. Pra Produksi
Dalam tahap produksi film ini, setiap langkah yang diambil
harus berhati-hati dalam merancang dan merecanakannya. Karena pada tahap ini
sangat menentukan tahap selanjutnya. Ada yang berpendapat bahwa pada tahap ini
semua konsep yang perlu diperdebatkan silahkan diperdebatkan daripada sudah
sampai ketahap produksi baru berdebat dan itu sangat memakan waktu, tenaga dan
pikiran.
Perencaan pada tahap ini antara lain; perencanaan biaya, penjadwalan, analisis naskah yang dibagai menjadi (analisis karakter, analisis wardrobe, analisis setting dan property), master breakdown, hunting yang dibagi menjadi (hunting lokasi dan penetapan lokasi, hunting properti dan wardrobe, casting, perekrutan kru dan penyewaan peralatan), dan yang paling terakhir adalah desain produksi.
3. Produksi
Tahap ini adalah tahap dimana semua materi yang direncanakan
pada dua tahap sebelumnya yang masih mentah untuk direkam baik gambar maupun
suara. Jika perencanaannya matang akan memudahkan untuk menghasilkan produksi
yang bagus. Namun, seringkali apa yang direncanakan dan di lapangan ada perubahan.
Perlu kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik dan tidak mudah panika jika
adanya perubahan-perubahan yang mendadak.
4. Pasca Produksi
Pada tahap ini hasil rekaman akan dilakukan editing,
penataan suara, penambahan efek, scoring music, dan colour grading.
Untuk di tahap ini, bukan cuma seorang editor saja yang berperan untuk
menentukan potongan-potongan gambar. Tetapi, sutradara dan produser juga perlu
menjaga keutuhan cerita.
5. Distribusi
Ini adalah tahap produksi film paling akhir, dimana film
akan disalurkan untuk penonton. Ada beberapa penyaluran film antara lain:
bioskop, pemutaran alternatif, festival dan media seperti DVD. Pemilihan
distribusi ini perlu dipertimbangkan dengan baik, bahkan kalau bisa sebelum
filmnya diproduksi. Agar filmnya bisa tepat sasaran (penonton)
Berdasarkan beberapa poin tersebut maka perlu ada strategi
atau cara yang tepat untuk bisa mendistribusikan film pendek. Beberapa cara
yang bisa dilakukan antara lain:
Submit ke Festival Film: Salah satu wadah yang paling
bisa dijadikan adalan adalah mencoba submit ke beberapa festival
film. Selain memastikan secara administratif proses pendaftaran sudah benar,
ada hal lain yang perlu diperhatikan. Untuk men-submit film juga harus
mengetahui karakter festival film tersebut, apakah film yang akan didaftarkan
sesuai atau cocok tema festival. Daftar
festival film pendek yang perlu diikuti.
Menawarkan ke Bioskop Alternatif: Sudah ada beberapa
bioskop alternatif, baik yang memiliki jadwal reguler atau belum. Tapi,
biasanya bioskop alternatif dalam membuat program pemutaran cenderung tematik.
Maka, siapa tahu jika film yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan penyelanggara
tersebut.
Platform Online: Perlu diketahui semakin banyak platform
online yang bisa jadi alternatif mendistribusikan film pendekmu. Cara
distribusi film pendek satu ini perlu dipertimbangkan karena semakin banyak
pengguna atau penonton film cenderung lebih mudah mengakses melalui media online.
Perbedaan Perfilman sebelum dan sesudah perkembangan Era Digital
Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang
hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek,
dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai
ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa
itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak
berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal
abad 20, hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat
ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi
sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar
secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah
mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur
cerita yang mulai populer. Pada tahun1970-an, film sudah bisa direkam dalam
jumlah massal dengan menggunakan videotape yang kemudian dijual. Tahun 1980-an
ditemukan teknologi laser disk, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD.
Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga
semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat
dengan keserarian masyarakat modern.
Sebelum munculnya era digital, film layar lebar biasanya
menggunakan media seluloid yang relatif mahal. Dalam perekaman durasi hitungan
menit, harganya mencapai jutaan rupiah.Beberapa tahun yang lalu, menggunakan
media rekam seluloid dalam durasi 4 menit, produser film layar lebar harus
mengeluarkan kocek Rp. 2,5 juta. Hitungan matematisnya, jika film durasi 90
menit, biaya yang dikeluarkan untuk media rekam seluloid adalah : (90:4) x Rp.
2,5 jt = Rp. 56.250.000,- belum termasuk scene-scene alternatif jika dibutuhkan
untuk alternatif visual. Maka untuk biaya satu buah film layar lebar
durasi 90 menit dengan alternatif visual yang cukup, otomatis lebih dari Rp. 56
juta. Sekali lagi ini hanya untuk biaya media rekam seluloid! Belum termasuk
biaya-biaya yang lain (artis/pemain, lighting, kru film dan lain
sebagainya).Dengan biaya yang cukup mahal ini, produksi film layar lebar sangat
berimplikasi pada kesiapan semua yang terkait dengan shooting produksi film.
Dari properti, semua equipment pendukung (lighting dan lain-lain) sampai pada
kesiapan pemain harus betul-betul matang. Sebab jika terjadi kesalahan dalam
adegan, maka harus mengulang (re-take). Jika ini terjadi, sekian juta
melayang begitu saja. Ini yang mungkin membuat seorang sutradara atau produser
terkadang keras dan sering naik darah jika terjadi kesalahan dalam adegan. Itu
dulu.
Sesudah di Era digital, membawa efek yang berbeda. Produksi
film layar lebar tidak 'wajib' dengan media seluloid. Dengan kamera digital
DSLR pun jadi. Tentu dengan format tertentu. Dan harganya pun lebih murah
dibandingkan dengan media seluloid. Sutradara pun tidak harus naik pitam jika
terjadi kesalahan dalam adegan. Meskipun hal-hal semacam ini ada batasannya.
Artinya beberapa kesalahan masih bisa ditolerir sepanjang tidak keterlaluan.
Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para
sistem sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor
digital dan meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang
dikenal dengan nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film
digital dengan resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960
atau 8.8 megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel
seluloid, namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk
hard-drive yang nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan
menayangkan filmnya.
Tahun 2002, major studios Hollywood membentuk suatu
organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan
untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model
yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada
standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun
International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar
atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi
film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content),
pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan
(forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan
mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan DCI). Perbedaan dasar antara
sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi,
dan penayangannya.
Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat produksi
seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar akibat
perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal adalah Kodak
(meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau, para filmmaker
dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era digital telah
memegang peranan penting dalam industri film dunia.
Komentar
Posting Komentar